Berdasarkan Keadilan Restoratif, Kejari Kotamobagu Hentikan Penuntutan Dua Perkara

Terkini179 Dilihat

KOTAMOBAGU POST Kejaksaan Negeri (Kejari) Kotamobagu telah menggelar sebuah expose penting yang menandai keputusan untuk menghentikan penuntutan terhadap dua perkara berdasarkan prinsip keadilan restoratif.

Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kotamobagu, Elwin Agustian Khahar SH MH, dengan didampingi oleh Kepala Seksi Pidana Umum (Kasipidum) Prima Poluakan SH MH dan Jaksa Fasilitator Yohanes Mangara Uli Simarmata, S.H.

Sebanyak dua perkara diajukan dihadapan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Dr. Fadil Zumhana yang diwakili oleh Direktur Orang dan Harta Benda (Oharda) pada Jampidum Kejaksaan Agung.

Dalam expose tersebut, Jampidum melalui Dir Oharda menyetujui permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

Dua perkara ini melibatkan tersangka Heldi Paputungan yang melanggar Pasal 362 KUHP dan tersangka Ridho Arya Putra Muharam yang melanggar Pasal 363 Ayat (1) Ke-3 KUHP Subs Pasal 362 KUHP.

Selanjutnya, Kajari akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.

Kepala Seksi Intelejen, Meidy Wensen SH, membenarkan hal ini dengan mengatakan, “Iya, telah dilaksanakan expose penghentian penuntutan sebanyak 2 perkara dan oleh Jampidum melalui direktur Oharda telah disetujui untuk dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan Restorative.”kata Meiddy Wensen

Keputusan ini didasari oleh beberapa alasan, termasuk proses perdamaian yang telah dilakukan, di mana tersangka telah meminta maaf dan korban memberikan permohonan maaf.

Selain itu, tersangka belum pernah dihukum sebelumnya, dan ini adalah kali pertama mereka melakukan perbuatan pidana. Ancaman pidana yang dihadapi tidak lebih dari 5 tahun, dan tersangka berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya.

Proses perdamaian juga dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa ada tekanan, paksaan, atau intimidasi.

Tersangka dan korban juga setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena diyakini hal ini tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.

Keputusan ini telah mendapat respons positif dari masyarakat dan pertimbangan sosiologis.***