Walikota Kotamobagu Seret Tim Terpadu Potensi Terlibat Tindak Pidana Gratifikasi

KOTAMOBAGUPOST.COM –Surat Keputusan Walikota Kotamobagu Ir Tatong Bara Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pembentukan Tim Terpadu Pelaksanaan Pasar Senggol Ramadhan 1436 Hijriah Tahun 2015, sangat kuat potensinya menjerumuskan puluhan pejabat dan pejabat teras instansi vertikal, potensi terlibat tindak pidana gratifikasi.

Tanggapan ini datangnya dari umumnya masyarakat pemerhati hukum, aktifis, banyak tokoh masyarakat, serta kritikan pedas dari Pengurus Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Pedagang Kaki Lima (DPD-APKLI), Kotamobagu.

Ketua DPD APKLI Kota Kotamobagu, Hi.Drs Dolfie Paat Manoppo, dengan tegas mengatakan, Walikota Kotamobagu menerbitkan SK Nomor 77 Tahun 2015 itu, tidak dilatari pertimbangkan landasan hukum melainkan lebih dominan mengambil alih tradisi masyarakat yang sudah lebih dari 25 tahun pengelolaan pasar senggol oleh rakyat bukan pejabat.

“9 Butir landasan formil yang menjadi pijakan pembentukan tim terpadu, tidak ada korelasinya dengan Pasar Senggol. Untuk menyiapkan fasilitas pasar senggol berupa kanopi dan pembayaran listrik saja, biaya yang harus dikeluarkan lebih dari Rp50 juta. Lantas sumber dana resmi dari Tim Terpadu ambil dari mana?” tanya Dolfi.

Kemudian katanya, soal landasan hukum Tim Terpadu yang didalamnya berisi pejabat Forkopimda (Forum Kordinasi Pimpinan Daerah, dalam mengelola uang berupa sewa-menyewa tempat yang per-lapaknya mulai dari Rp2,5 sampai 5 juta, “Nah dasar hukum Perdanya apa? Tim terpadu tidak bole cuci tangan jika ada transaksi hingga uang ratusan juta dampak dari aktifitas pasar senggol, karena payung hukumnya aktifitas pasar senggol adalah SK Walikota, jadi Tim Terpadu paling bertanggung jawab secara hukum,” terangnya.

Menurutnya, dengan pembentukan Tim Terpadu, telah menjerumuskan ratusan Pegawai Negeri Sipil dan aparat TNI Polri yang juga didalamnya terdapat pejabat Muspida, Walikota Kotamobagu Ir Tatong Bara menjerumuskan mereka berpotensi terlibat tindak pidana gratifikasi.

“Tim terpadu yang masuk panitia inti pelaksana pasar senggol, adalah Muspida sebagai pembina dan juga para Pejabat SKPD terkait serta ratusan PNS Pemkot juga ada anggota TNI dan Polri dalam tubuh Tim Terpadu. Sementara Tim terpadu ini tidak punya landasan hukum dalam mengelola keuangan pasar senggol. Kalau tidak punya yuridis formil pengelolaan keuangan, apa itu namanya? Jadi menurut hemat kami, kinerja tim terpadu sangat berpotensi terlibat tindak pidana gratifikasi,” ungkap Ketua APKLI.

Dolfie juga menyayangkan, penerbitan SK Walikota Nomor 77 tahun 2015,akan menjadi kendala ancaman tidak akan terlaksananya pasar murah ramadhan 2015. “Pasar murah ramadhan sangat membantu masyarakat menengah ke-bawah. Nah kalau pasar senggol tidak dilaksanakan, masyarakat akan dirugikan. Tapi mengapa Walikota begitu nekad mengambil alih tradisi rakyat yang sudah ada sejak Bupati J.A Damopolii menjabat. Kebijakan inilah yang jadi penghambat keberlanjutan tradisi pasar senggol Ramadhan,” tegasnya.

Terkait legal standing SK Nomor 77 Walikota, senada diutarakan Wakil Walikota Kotamobagu, Drs Hi.Djainudin terkait legal standing SK Walikota Nomor 77 Tahun 2015 yang menjadi payung hukum seluruh aktifitas pelaksanaan pasar senggol Ramadhan tahun 2015 ini.

Wakil Walikota Djainudian Damopolii dimintai klarifikasi terkait regulasi Pemerintah Kota terhadap kebijakan penerbitan SK Nomor 77 Tahun 2015 itu berpendapat, latar belakang dan dasar-dasar aturan pembentukan Panitia Terpadu yang dicantumkan dalam konsideran pembentukan Tim Terpadu Pasar Senggol, tidak ada korelasinya dengan maksud dan tujuan pembentukan Tim Terpadu.

“Sebelum anda (kotamobagupost.com) menelpon saya, Kami memang sudah melakukan pengkajian, memang ada 9 butir pijakan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah, yang harus kami kaji mendalam korelasinya dengan pasar senggol. Kita sedang melakukan kajian untuk meninjau kembali SK pembentukan Tim terpadu itu,” kata Djainudian via seluler pada Rabu (01 Juni 2015) via seluer menjawab pertanyaan kotamobagupost.com.

Djainudin juga mengatakan, pihaknya hari itu akan mengundang seluruh pejabat SKPD terkait dengan pelaksanaan pasar senggol Ramadhan untuk melakukan rapat dan mengkaji kembali SK pembentukan tim terpadu pasar senggol tahun 2015 itu.

“Dari 9 item dasar hukum pembentukan tim terpadu pasar senggol, hanya point 8 yang ada korelasinya, yakni Perda Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar. Namun Perda itu hanya membolehkan penagihan retribusi Rp1000 permeter bagi pedagang yang menggunakan tempat berjualan di Pasar Remadhan,” kata wartawan Kotamobagu kepada Wakil Walikota.

Kotamobagupost.com dalam wawancara singkat dengan Wakil Walikota Djainudin Damopolii sempat mengutarakan adanya pungutan kepada pedagang yang mencapai 3-5 juta dalam tradisi sewa-menyewa yang kesemuanya itu akan menjadi tanggung jawab tim terpadu karena semua aktifitas pasar murah ramadan, mulai dari sewa tempat hingga aktifitas pasar murah, di payungi hukum oleh SK Walikota.

“Itulah mengapa saya akan mengundang rapat kordinasi dengan instansi terkait agar kita bisa mengkaji bersama-sama hal-hal yang dimaksud itu (maksud potensi gratifikasi),” jawab Djainudin lagi, via seluler.

Tokoh masyarakat Kotabangon Aba Simbuang menilai, penerbitan SK Walikota Nomor 77 Tahun 2015, sangat tidak elok. “Tradisi yang sudah hampir 30 tahun pelaksanaan pasar senggol dilakukan dengan cara swadaya masyarakat, malah diambil alih oleh Pemerintah Kotamobagu. Ini menjadi preseden buruk terhadap tradisi dan budaya daerah kita.

“Sebenarnya Walikota harus memberdayakan masyarakat. Sebab pasar senggol bila dikelola swadaya, tidak berpotensi tindak kejahatan gratifikasi. Tapi kalau PNS dan pejabat yang melaksanakan pasar senggol, mereka diikat aturan ketat apabila bicara soal transaksi uang dalam sebuah kegiatan,” kata Simbuang. (audie kerap_

KASUS DIGOLONGKAN KEJAHATAN GRATIFIKASI

Pasal 12B, ayat 1, UU No.20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/ 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi

Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif, karena hal ini dapat memengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif.

Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/kelulusan.

Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (dinas pendapatan daerah), LLAJR dan masyarakat (preman). Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan agar laporan dipublikasikan oleh media massa dan dilakukan penindakan tegas terhadap pelaku.

Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 persen dari nilai proyek.

Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah.

Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat.

Perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir jabatan.

Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanya sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat menggunakan kotak amal).

Hadiah pernikahan untuk keluarga PNS yang melewati batas kewajaran (baik nilai ataupun harganya).

Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang “dipercepat” dengan uang tambahan.

Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda, dengan jumlah tidak masuk akal.

SANKSI PIDANA GRATIFIKASI

Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001 UU Tipikor:

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK.

Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 UU Tipikor, baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.

Pasal 5 UU Tipikor:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 12 UU Tipikor

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; (judul :  Walikota Kotamobagu Seret Tim Terpadu Potensi Terlibat Tindak Pidana Gratifikasi )

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.