Antara Pemilih Zaman Now dan Politikus ‘Abal-Abal’  (OLEH : AWAL DATUNUGU)

Bolmut, Opini1087 Dilihat
AWAL DATUNUGU

Tahun Politik 2018 kian membuat suasana disetiap daerah di Indonesia menjadi panas dingin. Ada 12 partai politik yang pada Desember lalu dipastikan akan segera beradu dalam perlombaan politik yang akan rutin diadakan setiap 5 tahun sekali ini.

Elite-elite partai politik tampak sibuk dengan kader-kadernya yang maju sebagai bakal calon legislatif (Bacaleg) april 2019 mendatang.

Pemilu 2019 yang menjadi titik kulminasi untuk menyiagakan tokoh-tokoh terkemuka dalam parpol dan segera melenggang menjadi anggota legislatif serta merebut parlemen di gedung rakyat.Sejumlah baliho dan spanduk akan segera memenuhi jalan protokol di semua kota/kabupaten seluruh Indonesia khususnya Bolaang Mongondow Utara (Bolmut). Lengkap pula dengan bendera partai pengusung, dan janji-janji maupun slogan yang lazim digunakan dalam tiap kontestasi rutin tersebut.

Berkoper-koper uang tunai juga siap dihamburkan untuk keperluan yang berhubungan dengan kelengkapan kampanye, dan kebiasaan buruk yang acapkali masih dilakukan oleh politisi zaman now adalah politik uang alias money politick.

Masyarakat, artikan saja sebagai orang-orang yang berada di luar istilah politik kekuasaan, mau tidak mau akan terkena imbasnya. Bukan hanya pengusaha yang mendukung penuh para jagoanya untuk kemudian simbiosis mutualisme jika terpilih.

Namun kita, terutama generasi milenial yang masih menaruh harapan pada perpolitikan negeri ini agar semakin baik ke depannya. Jika tidak awas dan mawas diri, siap-siap menjadi ‘objek’ para politisi untuk didulang suaranya menjadi kepentingan mereka sendiri dan parpolnya.

Mungkin di antara kita banyak yang menjadi pemilih pemula, atau masih awam dalam Pemilu. Ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pemilihan Umum atau Pemilu, adalah kegiatan yang rutin dilakukan oleh penyelenggara negara untuk mengisi jabatan-jabatan politik dalam tataran nasional. Terutama pada legislatif, dengan memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta eksekutif dengan memilih presiden dan wakilnya.

 

Canggihnya media sosial dan berbagai macam gadget atau gawai menjadi primadona di era globalisasi. Bukan main, berapa jam di setiap harinya kita gunakan waktu untuk melihat update status terbaru teman,kolega bahkan lawan politik kita.

Namun kelihaian penggunaan gawai oleh berbagai kalangan tidak disertai dengan kecerdasan dalam penggunaannya. Munculnya berita yang tendensius, namun tidak disertai fakta atau akrab disebut hoax menjadi hal yang biasa kita jumpai. Pemberitaan yang cenderung melakukan framing terhadap tokoh tertentu akibat konglomerasi media menjadi asal muasalnya.

 

Karena mudah terhasut dengan berita bohong, tak mengherankan jika iklim dunia maya juga turut memanas. Apalagi di dunia nyata sedang dalam situasi kontestasi politik. Untuk itu tak jarang perdebatan dalam kolom-kolom komentar Facebook, WhatsApp dan Twiter berujung dengan saling hujat.

 

Untuk menghadapi situasi yang memanas ini minimalkan penggunaan kata salah dan benar. Karena di zaman now kebenaran dapat menjadi bias, dimana setiap orang mencari benarnya sendiri atau dengan kata lain pembenaran.

Sebagai generasi muda, kita tentunya paham akan isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) yang kerap kali muncul di media sosial dalam tataran kontestasi politik menjelang Pemilu. Dengan panasnya jagat maya maupun dunia nyata akan silih bergantinya hoax, isu SARA menjadi senjata primadona bagi para politikus abal-abal.

Perlu diingat bahwa tinggal di Indonesia yang berideologi Pancasila keberagaman harus dijunjung tinggi sesuai dengan semboyan yang sudah disepakati para Bapak Bangsa dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya.

Diskriminasi dalam bentuk apa pun sudah tidak berlaku lagi di negeri ini sejak diproklamasikannya kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sehingga marilah kita berhenti membeda-bedakan orang Indonesia dari beragam latar belakangnya. Kita bisa memegang prinsip bahwa siapa pun orang Indonesia selama mampu memenuhi sumpah/janjinya sebagai pejabat publik yang berkewajiban untuk mewujudkan keadilan sosial.

Yang jelas, Pemilu adalah ajang untuk memilih wakil rakyat yang benar-benar mampu membawa aspirasi rakyat.Jangan sampai kontestasi Pemilu membuat persatuan kita sebagai bangsa, teman, maupun keluarga terpecah belah.

Kita boleh berbeda, tapi bukan berarti perbedaan itu menjadi malapetaka. Pisahkan urusan politik dengan ranah publik. Jangan sampai kita campuradukkan, apalagi berujung pada perang saudara. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.