Lapor Pak Presiden!! Gubernur Sulut dan Walikota Kotamobagu ‘Lecehkan’ UU dan Perpres 

Inilah Proyek Jalan Nasional selebar 22 meter di Kelurahan Kotobangon, Kota Kotambagu yang menjadi lokasi perampasan hak atas tanah milik rakyat dilakukan oleh Gubernur Sulut dan Walikota Kotamobagu dengan cara-cara tidak manusiawi dengan menggunakan kontraktor Berlian A.Murni (dok kotamobagu post)
Inilah Proyek Jalan Nasional selebar 22 meter di Kelurahan Kotobangon, Kota Kotambagu yang menjadi lokasi perampasan hak atas tanah milik rakyat dilakukan oleh Gubernur Sulut dan Walikota Kotamobagu dengan cara-cara tidak manusiawi dengan menggunakan kontraktor Berlian A.Murni (dok kotamobagu post)

KOTAMOBAGU POST – Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 serta Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012, faktanya tidak bisa melindungi hak kepemilikan tanah milik ratusan Kepala Keluarga di Desa Moyag dan Kelurahan Kotobangon, Kecamatan Kotamobagu Timur, Kota Kotamobagu, Provinsi Sulawesi Utara.

Lihat saja, tanah milik ratusan warga Kelurahan Kotobangon dan Desa Moyag di Kecamatan Kotamobagu Timur, dirampas begitu saja tanpa, tanpa ganti rugi dan tanpa pelepasan hak, sebagaimana diatur dalam Undang-undang dan Perpres tersebut.

Hasil investigasi Kotamobagu Post, tanah di dua desa ini telah diambil untuk kepentingan pelebaran jalan Nasional dibawah tanggungjawab Satker Balai Pelaksanaan Jalan Nasional XI Sulawesi Utara, bersumber dari APBN hampir, diperkirakan mencapai Rp100 Miliar.

Proyek multi years yang dikerjakan oleh PT Berlian Aseal Murni, awalnya pada tahun 2015 lalu, nekad melakukan pembongkaran dan perampasan tanah warga Kotobangon tanpa musyawarah. Akibatnya bangunan dan tanaman masyarakat dibongkar rata tanah, tanpa musyawarah dan sangat tidak manusiawi.

Kemudian awal tahun 2016 ini, tindakan kesewenang-wenangan kembali dilakoni oleh kontrak pelaksanan PT Berlian Asaels Murni. Menggunakan sejumlah alat berat Eksavator, melakukan pembongkaran tanah dan bangunan serta tanaman milik warga Desa Moyongkota. Meski ada sejumlah petugas dari TNI dan Polri yang hanya terlihat oleh warga mengatur arus lalulintas di lokasi pembongkaran, namun mereka umumnya jadi takut untuk melakukan perlawanan, guna melarang pembongkaran tanah dan bangunan mereka.

Perampasan tanah hak milik masyarakat ini, dilakukan sewenang-wenang, tanpa mematuhi UU Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012. Umumnya warga pemilik tanah, selain tidak dilibatkan dalam musyawarah juga tidak pernah menandatangani berita acara pelepasan hak mereka, sesuai amanat dua peraturan tersebut.

Pelanggaran tidak manusiawi ini kian akurat, setelah Kotamobagu Post melakukan wawancara dengan Lurah Kotobangon, Kecamatan Kotamobagu Timur, yakni; Neni Triana Mokodompit, MPDi.

Lurah perempuan ini, dengan polos memberikan keterangan kalau, tanah masyarakat Kotobangon yang kini telah berubah menjadi Badan Jalan dan Trotoar, sama sekali tidak diberikan ganti rugi.

“Tidak ada ganti, yang ada hanya kompensasi perubahan sertifikat tanah. Saya hanya menyampaikan kepada seluruh Kepala Lingkungan, hal seperti itu untuk diteruskan kepada warga pemilik tanah,” kata Mokodompit, Kamis (03/03/2016), diruang kerjanya.

Saat ditanya pernah menandatangani berita acara musyawarah atau dokumen penting tentang pelepasan hak tanah bagi kepentingan umum, Lurah Mokodompit mengaku, tidak pernah.

“Tidak, tidak pernah,” kata Lurah Kotobangon saat ditanyai apakah pernah menandatangani berita acara atau dokumen hasil musyawarah ganti rugi dengan rakyatnya.

Dia mengaku, Pemerintah Kelurahan hanya mendapat surat pemberitahuan akan ada pelebaran jalan, kemudian dia teruskan kepada aparat Kelurahan, Kepala Lingkungan hingga Ketua RT, pesan itu sambil menyebut, ada tim dari Provinsi Sulut yang dipimpin Ibu Yulia, dari Satker Balai Pelaksanaan Jalan Nasional XI Sulawesi Utara.

“Ada tim dari Balai Jalan Nasional, setahu saya Ibu Yulia yang turun dilokasi kemasyarakat,” kata Lurah lagi.

Sementara itu, rata-rata warga yang telah dirampas tanah mereka dan telah dibongkar bangunan serta tanaman mereka mengaku, tidak pernah mendapatkan sosialisasi ataupun negoisasi ganti rugi tanah.

“Tanaman sudah digusur juga sekitar tanah lebar 5 meter dibongkar. Saat alat berat melakukan penggusuran, saya hanya memandangi dengan sedih. Kami hanya rakyat kecil, tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” kata Bapak R.Simbuang, warga Kotobangon, salah satu dari ratusan warga pemilik tanah yang jadi korban penggusuran tanpa ganti rugi.

Bahkan Bapak Simbuang ini mengaku, tidak pernah mendengar kalau ada kompensasi uang untuk biaya perubahan Sertifikat Tanah. “Saya tidak tahu kalau ada kompensasi itu. Kalaupun ada, saya tidak mau sertifikat saya dirubah begitu saja, ini masalah hak milik kami,” tegasnya.

Hingga berita ini diturunkan, warga Desa Moyag dan Warga Kelurahan Kotobangon mengaku, belum pernah menandatangani berita acara pelepasan hak tanah mereka atau menandatangani berita acara musyawarah dengan Pemerintah Provinsi Sulut, maupun Pemerintah Kota Kotamobagu.

Andy Riady, Kordinator Indonesia Timur Lembaga Anti Korupsi Republik Indonesia (LAKRI) dengan tegas mengatakan, Gubernur Sulut dan Walikota Kotamobagu telah menginjak-injak UU Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tenang Pengadaan Tanah.

“Hal ini kami akan laporkan kepada Presiden RI dimana Undang-undang dan Peraturan Presiden telah diinjak-injak oleh para pemimpin di Negeri ini. Elit daerah ini, tidak lagi taat pada perundang-undangan yang berlaku, semena-mena dan sewenang-wenang merampas hak rakyat,” tegas Riady.

Dia menegaskan, bahwa dalam kedua regulasi itu, Gubernur Sulut dan Walikota Kotamobagu diwajibkan melaksanakan ketentuan tersebut, karena batasan dan tugas serta tanggungjawab kedua pejabat publik itu, sudah diatur dalam ketentuan, juga diatur dalam  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

“Namun selaku pejabat Negara Gubernu Sulut dan Walikota Kotamobagu Ir Tatong Bara, mereka telah melecehkan Undang-undang dan Peraturan Presiden. Padahal mereka dilantik oleh Pemerintah dibawah sumpah jabatan untuk taat dan tunduk pada aturan serta mengedepankan kepentingan umum. Tapi justeru merampas hak-hak rakyat dan menginjak-nginjak Undang-undang dan Peraturan yang mengatur tentang Pengadaan Tanah,” tambahnya. (audy kerap)

Klik dan Download UU Nomor 2 Tahun 2012 dan Pepres 71 Tahun 2012 :

http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2012_2.pdf

http://prokum.esdm.go.id/perpres/2012/Perpres%2071%202012.pdf

Berita Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.