KOTAMOBAGU POST, BOLTIM – Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, menjadi pijakan Pemerintah Kabupaten Bolmong Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dalam melindungi hak-hak rakyat atas ganti rugi meliputi ; tanah, tanaman bangunan, atas nama kepentingan pelebaran jalan Nasional.
Demikian disampaikan Bupati Boltim Sehan Landjar SH, saat diwawancarai wartawan Kotamobagu Post dirumah kediamannya, Desa Togit Kecamatan Tutuyan (20/02/2016), setelah dirinya dilantik oleh Gubernur Sulut Olly Dondokambey SE.
Bupati ke-4 Kabupaten Boltim ini dengan tegas menolak apabila hak-hak rakyat atas kepemilikan tanah tidak diberi ganti rugi oleh Pemkab Boltim.
“Contoh dimasa kepemimpinan pertama saya sebagai Bupati Boltim, ada proyek senilai Rp28 Miliar di Kabupaten Boltim. Pemkab Boltim memberikan ganti rugi kepada seluruh pemilik tanah yang menjadi korban pelebaran jalan Nasional. Hal ini berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005,” kata Sehan Landjar menjawab pertanyaan Kotamobagu Post.
Menurutnya, hak rakyat harus diberikan karena sudah diatur lewat Undang-Undang dan Perpres. “Bukan cuma tanah milik rakyat yang kami berikan ganti rugi, tapi seluruh tanaman dan bangunan yang masuk dalam pelebaran, kami berikan ganti rugi,” tegas sebutan akrab Ami Eyang ini.
Terus uang ganti rugi bagi pemilik tanah dan lahan, sumber dananya dari mana? Tanya wartawan. “Nah sepanjang saya menjabat periode pertama, semua proyek jalan Nasional kami berikan ganti rugi. Sumber dana ganti rugi, kami alokasikan dari dana APBD sebagai dana sharing. Sebab dana APBN hanya untuk pembangunan fisik jalan dan utilitasnya, sedangkan uang ganti rugi jadi kewajiban Pemerintah Daerah untuk melindungi hak-hak rakyat,” terang Bupati berkumis lebat ini.
Soal mekanisme uang APBN bisa diklaim oleh kontraktor bisa turun dari Pemerintah Pusat, menurutnya, mulai dari Pemerintah Desa, Kecamatan dan Pemerintah Daerah Boltim melayangkan surat dalam bentuk berita acara bahwa semua tanah dan bangunan yang akan diambil untuk kepentingan pelebaran Jalan Nasional, sudah dilakukan ganti rugi lewat musyawarah antara pemerintah dan rakyat Boltim sebagai pemilik tanah.
“Bayangkan saja, masih ada satu pemilik tanah yang masih bertahan tidak setuju tanahnya dibayar lewat ganti rugi. Saya pusing kepala, sebab dana APBN tidak akan dikucurkan apabila tanah masih bermasalah. Akhirnya saya turun langsung menemui pemilik dan bermohon agar menyetujui dan menerima ganti rugi, akhirnya tanah bersangkutan bisa dilepaskan haknya untuk kepentingan umum,” tukas Sehan Landjar, sambil meneguk kopi panasnya.
Atas musyawarah mufakat dan dituangkan dalam berita acara dengan Pemerintah Desa dan Pemerintah Kecamatan, kemudian dirinya menandatangani surat pembebasan lahan dan dibawa ke Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum.
“Dalam Undang-undang dan Perpres Nomor 36 Tahun 2005, Pemerintah Daerah wajib hukumnya memberikan ganti rugi kepada yang berhak. Ganti rugi ini meliputi, tanah, bangunan dan tanaman. Tentunya melalui panitia Saya tidak mau bersikap arogansi dan memperkosa hak-hak rakyat yang sudah dilindungi oleh Undang-Undang dan Peraturan Presiden,” tegas Landjar lagi.
Sementara ada peluang aturan tindakan represif pengambil alihan tanah secara paksa. “Tapi bukannya tidak melalui proses musyawarah dengan pemilik tanah. Itu boleh dilakukan setelah hasil penilaian panitia penaksir harga sesuai NJOP dan sudah musyawarah kemudian ditolak oleh pemilik tanah tanpa alasan. Tapikan uang ganti rugi itu harus dititip di Pengadilan untuk diserahkan kepada pemilik tanah bersangkutan,” tambahnya.
Bupati Boltim Sehan Landjar SH, kemudian memberikan jaminan kepada seluruh rakyat Boltim. “Saya orang yang mengerti hukum dan mentaati semua regulasi yang dilahirkan baik itu Undang-Undang, PP, Kepmen, Perpres, PP atau pun Peraturan Daerah. Aturan dibuat bukan untuk saya langgar, tapi sebagai Bupati yang melayani rakyat, saya harus tunduk pada aturan untuk rakyat saya,” ucap Bupati Boltim. (audy kerap)