Tulisan mengandung peristiwa faktual yang penulis sadari tidak sempurna, kepada seluruh pembaca khususnya nama-nama mereka yang sempat saya tulis dalam judul : “Mengenang Ksatria ‘Ninja’ di Peti Taman Nasional Dumoga-Bone 1992-2000” ini, dapat melihat dari sudut pandang ; bentuk penghargaan saya karena telah menorehkan kisah, hingga masyarakat di kawasan Dumoga, telah mendapatkan pengalaman pahit dan menjadikan pengalaman sebagai guru yang terbaik untuk bisa hidup damai, sadar hukum, dan hingga kini telah terpatri rasa persaudaraan terus terpelihara di kawasan Dumoga Raya. Dumoga Raya kini telah berbeda dimasa Lokasi Rebutan Maleo berkecamuk, dimana Dumoga sempat menjadi daerah rawan kantibmasnya di Indonesia, yang kini tinggal jadi kenangan pahit dan tidak boleh terulang lagi.
Catatan : Audie Judie Kerap
Taman Nasional Dumoga-Bogani yang kemudian berganti nama menjadi Taman Nasional Nani Wartabone terletak di dataran topografi Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulut. Kawasan kaya flora dan fauna langka ini, memang punya sejuta kisah yang sepatutnya diketahui oleh masyarakat dan generasi mendatang. Sebab kisah ini, perlahan akan terlupakan dan akan menjadi kisah mitos turun-temurun, regenerasi tentang Kisah Ninja Tambang Toraut semasa tahun 1991-2000.
Taman Nasional perbukitan hutan belantara sebagian terletak di Kawasan Dumoga, dilindungi oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang….., ternyata kekayaan emas melimpah di kawasan paru dunia ini, hingga menarik ribu penambang sering bertikai, bahkan adu nyawa demi perebutan lobang berisi emas didalamnya.
Kisah pertambangan emas di kawasan ini, saya menulisnya berdasarkan pengalaman, semata-mata untuk dijadikan kenangan yang tidak akan terlupakan tentang kisah pertambangan emas di antara tahun 1992-2000, khususnya pertambangan emas di kawasan Dumoga.
Semasa itu ada beberapa tempat yang dijadikan pintu masuk melakukan aktifitas pertambangan dalam Kawasan Taman Nasional. Di kawasan Gorontalo sendiri, contohnya di Bumela, Marisa (Saya dua kali meliput di sini, termasuk meliput operasi penurunan penambang di Bumela). Tak terkecuali di Tambang Dumoga, pintu masuk penambang melalui jalur irigasi Bendungan Toraut.
Dalam profilnya, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang memiliki luas 287.115 hektar di dua Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Utara. Untuk luas di Sulut adalah 117.115 hektar yang masuk dalam wilayah administrative Kabupaten Bolsel, Bolmong dan Bolmong Utara.
Nah, sekitar tahun 1992 warga di Dumoga Raya belum banyak tahu jika kawasan pegunungan TNBW yang berada dibelakang rumah mereka, ternyata hutan lebat itu mengandung emas melimpah.
Entah bagaiman kisah tiba-tiba, ribuan masyrakat di Bolmong tahun 1992-1993 (waktu itu masih satu kabupaten Bolmong), mulai beraktifitas menambang di perbukitan ini.
Kabarnya, sejumlah warga masyarakat yang gemar melakukan pencurian rotan dan pembalakan pohon yang pertama kali menemukan matrial pasir batu atau sebutan lainnya “Rep” ternyata mengandung emas.
Antara tahun 1991-1992, masyarakat Dumoga, bahkan dari daerah lain di Sulut, mulai masuk dalam kawasan untuk bertambang. Pintu masuk mereka melalui jalur jalan irigasi Bendung Toraut.
Jalan irigasi yang membawa kedalam kawasan, bisa masuk melalui jalur Desa Mophuya Kecamatan Dumoga Utara atau bisa masuk lewat Desa Toraut melalui pintu masuk Bendungan Kasinggolan yang terletak di Desa Doloduo.
Awal-awal aktifitas pertambangan di Dumoga semasa itu, tentu saja masih berkelompok kecil antara 5-10 orang saja. Mereka masuk ke kawasan untuk menggali lobang demi mendapatkan rep mengandung emas, kemudian membawa pulang dan mengolah di beberapa tromol yang ada di Kotamobagu dan Tobongon Kecamatan Modayag.
Semasa itu juga, pihak Kodim 1303 Bolmong memang lebih dominan mengendalikan keamanan para penembang. Bahkan atas kerjasama antara Pemkab Bolmong, Polda Sulut dan Kodim 1303 Bolmong, pernah dilakukan Operasi dengan sandi : “Operasi Santiago” untuk melindungi kawasan TNBNW. Sayangnya operasi ini tergolong sukses, tapi setelah operasi selesai, justeru ribuan masyarakat kian tak terkendali masuk dalam kawasan.
Sebelum Tambang Toraut ( istilah pertambangan illegal di Dumoga) heboh dan menyedot perhatian masyarakat, ada beberapa lokasi yang sempat ngetop semasa tahun 1992-1993.
Lokasi tambang ini, mulai dari Lokasi Kambuna, Lokasi Edy Sante, Lokasi Super Busa, Lokasi Karamba, Lokasi Teluk, Super Busa, Lokasi Karamba, Lokasi Bulu, Lokasi Panta Putih, Lokasi CD, Lokasi BH, Lokasi Lobang Gatal, Lokasi Kaki Tiga, Lokasi Bibir Merah, Lokasi Tai Ade, Lokasi Domato, Lokasi Beringin dan beberapa lokasi tambang lainnya.
Penamaan lokasi ini biasanya dinamakan oleh penambang, dengan alasan lokasi ditemukan oleh bersangkutan sehingga dinamakan dengan nama orang atau lokasi dalam hutan belantara itu ada keunikan khusus.
Misalkan lokasi Kambuna. Tembang emas yang masuk dari jalur talang dua Bendung Toraut ini terletak di atas bukit setinggi kira-kira 100 meter dan ada sudut perbukitan ini yang berbentuk seperti lengkungan Kapal Kambuna. Untuk mencapai lokasi Kambuna ini, membutuhkan waktu 2-3 jam dari Bendungan Toraut dengan berjalan kaki menyusuri sungai kecil.
Sementara untuk nama lokasi Edy Sante, adalah nama si penambang yang menemukan pertama kali lokasi itu mengandung emas. Atau juga nama lokasi Bule Pasir, karena lokasi ini jenis materialnya pasir dan berdebu berwarna putih. Atau lokasi Panta Putih, dimana kawasan bukit ini menjadi tempat bersembunyi penambang jika ada ancaman keselamatan bagi nyawa mereka.
Memang seblum kawasan tambang Toraut Dumoga heboh dan serbu oleh ribuan penambang, terlebih dahulu dihebohkan dengan penemuan oleh sejumlah penambang asal Kotamobagu. Beberapa penambang ini, diam-diam mengolah matrial rep mereka di sebuah toko emas di Kotamobagu.
Luar biasa, hanya material seukuran gayung air saja, kabarnya warga Kotamobagu ini berhasil mendapatkan emas hingga 1 kilogram. Nah, informasinya, saat penambang ini mengolah toko emas, mereka kepergok oleh beberapa penambang asal Dumoga.
Kabar langsung tersiar, umumnya warga Dumoga mulai mencari lokasi dimana perbukitan yang mengandung emas hingga standart kilogram. Ternyata lokasi yang kaya emas ini hanya berjarak tak lebih dari 1 kilometer saja dari irigasi Toraut atau disebut pintu masuk Jalur Perumahan Tiga.
Perumahan Tiga ini menjadi istilah bagi penambang samasa itu, adalah jalur masuk ke lokasi Kawasan Taman Nasional, yang letaknya berjarak sekitar 1 kilometer dari bendung Toraut. Dipintu masuk ke kawasan ini, terdapat 3 rumah semi permanen. Rumah ini milik penjaga irigasi Dinas Pengairan yang pada waktu itu, sudah ditinggalkan tidak terurus.
Lokasi yang kaya emas ini, kemudian diberi nama oleh penambang dengan sebutan : Lokasi Rebutan Maleo. Memang bebatuan atau pasir mengandung emas di lokasi ini, tidak perlu menggali lobang dalam. Karena kadar kandungan emas di lokasi ini, hanya 4-7 meter saja dari permukaan tanah.
Lokasi Maleo memang menjadi awal pertumpahan darah dan memakan begitu banyak korban nyawa manusia. Penambang bentrok dan saling bantai di lokasi untuk memperebutkan lobang rebutan. Istilah lobang rebutan itu, adalah beberapa lobang di Lokasi Maleo yang materialnya seukuran 1 karung plastik atau karung nelon, bisa menghasilkan emas seberat 50 ons hingga satu kilogram emas.
Di Lokasi Maleo inilah, menjadi perangsang ratusan penambang membentuk grup-grup. Istilah grup bagi penambang adalah kelompok geng tertentu yang dibentuk untuk menguasai ‘lokasi kencang’ atau lokasi banyak emasnya dan diistilahkan sebagai lokasi atau lubang rebutan atau lubang kencang.
Grup-grup berjumlah mulai dari 50 orang, 100 orang, 500 orang bahkan ada yang grup mencapai ribuan orang penambang terbentuk. Mereka semuanya rata-rata dilengkapi dengan tombak, samurai, panah, sabit, senjata angin, atau tombak bambu, tombak bayonet, pedang trisula dan macam-macam senjata tajam lainnya.
Atraksi seperti dalam film saur sepuh-pun mulai terjadi. Grup-grup ini silih berganti mulai menguasai lokasi rebutan Maleo apakah dengan cara berperang atau bernegoisasi damai untuk saling bergantian antara grup satu kepada grup lainnya, semuanya demi mendapatkan rep emas di lokasi rebutan Maleo.
Masa itu, grup-grup yang cukup terkenal dan ksatria yang memiliki ratusan penambang gagah berani, semisal Grup Anoa, Grup Kramat Tua, Grup Kramat Muda, Grup Uuan, Grup Doloduo, Grup Pinasungkulan, Grup Lenter, Grup Pokol, Grup Malonda, Grup Sonly, Grup Transamad-Alam, Grup Putong dan banyak lagi grup lainnya.
Mereka adalah kumpulan penambang yang gagah berani, dan tidak gentar dan pantang mundur untuk memperebutkan lubang rebutan tak terkecuali juga, grup-grup ini juga memiliki sikap negoisasi damai untuk membagi waktu menguasai lobang rebutan. Hingga istilah Ninja Toraut pada masa itu menjadi populer bagi masyarakat Sulawesi Utara, tak terkecuali juga populer di luar Sulut, khusus untuk penyebutan bagi penambang di Dumoga. (bersambung)
1 komentar