KOTAMOBAGU POST – Hendra Damopolii, mantan Komisoner KPU Boltim mengaku gerah dengan propaganda sesat, terkait meninggalnya sepupunya Sry Wulandari Toengkesong, usai kecelakaan lalulintas di Jalan Siliwangi Tumobui.
“Ada propaganda sesat, seolah-olah kritik saya di media ini (Kotamobagu Post), bertendensi menuduh pihak Polisi Satuan Lalintas Polres Bolmong yang membunuh sepupu saya. Propaganda itu tidak benar dan sesat,” kata Damopolii.
Dia mengatakan, kritik yang dipublish sebenarnya, berkaitan dengan prosedur polisi saat melakukan kewenangan penindakan dijalan.
“Secara objektif kita semua harus pahami peristiwa lakalantas yang mengakibatkan sepupu saya meninggal dunia. Jika melihat dari aspek kesalahan pengendara kemudian terjadi kecelakaan, maka tentu juga polisi tidak boleh teledor dalam menjalankan tugasnya,” bebernya.
Terkait dengan peristiwa meninggalnya siswa Kelas I SMA Modayag berusia 16 tahun itu, Hendra mengkritik, Satlantas Polres Bolmong yang dinahkodai Kasat AKP Anita Sitinjak, berkenan dengan ketaatan pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 Tentang; Pemeriksaan Kendaraan Bermotor dijalan.
“Jelas sekali diatur dalam PP 42 Tahun 1999 tentang Pemeriksaan kendaraan, diatur dalam pasal 15. Maka anggota polisi satlantas, wajib hukumnya mentaati peraturan ini,” tegas Damopolii.
Menurutnya, prosedur pemeriksaan dijalan yang dilakukan oleh Satlantas Polres Bolmong ketika melakukan penghadangan kendaraan di Jalan Siliwangi (saat keluarganya mengalami lakalantas), Kelurahan Tumobui, tidak menggunakan papan tanda.
“Pasal 15 ayat 1 disebutkan pemeriksaan kendaraan wajib dilengkap tanda menunjukan adanya pemeriksaan dan pasal 2, tanda dipasang sekuang-kurangnya 100 meter dari lokasi pemeriksaan. Peraturan ini jelas sekali untuk menghindari potensi terjadi kecelakaan yang bisa merenggut nyawa manusia di jalanan,” tukasnya.
Demikian pula katanya, pada pasal 12, polisi lalulintas wajib mengutamakan keselamatan pengguna jalan.
“Pasal 12 berbunyi; Pemeriksaan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10, dilakukan dengan cara yang tidak mengganggu keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Nah, jelas sekali aturan ini untuk melindungi kesalamatan pengguna jalan,” paparnya.
Terkait dengan kematian sepupunya, menurut Damopolii, sudah kehendak Allah SWT. Dan pihaknya tidak menuduh polisi lalulintas yang membunuhnya.
Terkait dengan postingan rekaman ayah dari Almarhuma Sry Wulandari yang sengaja diedarkan di grup WA, menurut Hendra bentuk propaganda untuk menekan dirinya yang telah memberikan pernyataan pers.
“Rekaman itu benar, pernyataan ayahanda korban (Alamarhuma Wulan) juga benar. Bahwa keluarga tidak menuduh polisi yang membunuh adik kami Wulan. Kami keluarga hanya mengkritis kewenangan polisi dijalanan sesuai prosedur yang diatur ketentuan yang wajib. Nah, jika polisi sendiri terbukti melanggar SOP? Apa sanksinya,” tantang Damopolii.
Ditegaskannya, semua kalangan harus objektif menilai peristiwa ini. Kematian sepupunya menjadi warning bagi kita, agar pengendara harus taati peraturan lulintas demikian juga polisi harus patuhi prosedur saat melakukan kewenangan penindakan dijalan.
“Karena siapapun yang melanggar aturan, baik polisi atau pengendara semua sama dimata hukum,” akhir Damopolii.
Pantauan Kotamobagu Post beberapa saat sebelum peristiwa tragis terjadi yang berakibat meninggalnya Sri Wulandari, terlihat memang tidak ada papan tanda pemberitahuan sebagaimana amanat PP 42 Tahun 1993, sebab terpantau para polisi ditugaskan di kawasan Jalan Siliwangi itu, untuk Pengamanan Pilkada kegiatan Paslon Walikota/Wakil Walikota Tatong Bara – Nayodo Kurniawan. (audie kerap)