JAKARTA – Revisi UU Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang berkepanjangan tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga berdampak pada keengganan para pelaku di industri hulu migas untuk melakukan penemuan-penemuan cadangan baru (eksplorasi), potensi bawa Indonesia dalam krisis migas.
Padahal, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun ini menargetkan investasi di sektor migas mencapai US$ 17,04 Miliar. Angka itu terdiri dari investasi di sektor hulu migas sebesar US$ 14,44 Miliar dan sektor hilir US$ 2,59 Miliar. Lalu mampukah pemerintah dan seluruh pelaku industri mencapai target tersebut tanpa payung hukum yang memadai?
Agenda pembahasan RUU Migas sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang ke-3 (tiga) di DPR RI, selama periode 2004-2019 atau sejak dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi No 002/PUU-I/2003 yang membatalkan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan enam tahun sejak dikeluarkannya Keputusan MK. No. 36/PUU-X/2012 yang berakhir dengan bubarnya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS).
Kondisi ini semakin diperparah dengan rendahnya harga minyak mentah dunia yang terjadi sejak pertengahan 2014 yang membuat kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas harus melakukan efisiensi, termasuk salah satunya mengurangi belanja investasi.
“Investasi sektor migas trend-nya menurun dalam beberapa waktu terakhir, terutama di sektor hulu migas. Hal itu tak lepas dari turunnya harga minyak dunia yang sempat berada di bawah US$40 per barel,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Susyanto dalam Media Briefing bertajuk “RUU Migas: Masa Depan Migas Indonesia yang Lebih Baik” di Jakarta, Rabu (28/02/2018).
Lebih lanjut kondisi itu membuat volume produksi migas nasional yang siap dijual (lifting) terus menurun karena kemampuan produksi KKKS migas pun semakin terbatas. Sebaliknya laju konsumsi bahan bakar minyak dan gas nasional terus naik seiring dengan pertumbuhan populasi kendaraan bermotor, maupun bertambahnya konsumen bahan bakar gas di sektor industri pembangkit listrik dan rumah tangga. Laju konsumsi terhadap produksi migas juga menjadi tidak seimbang dan mengakibatkan ancaman terhadap ketahanan energi nasional serta menahan pertumbuhan ekonomi bagi sektor-sektor penunjang lainnya.
Menyikapi hal tersebut, lanjutnya, Kementerian ESDM terus berupaya mengeluarkan regulasi yang bisa menggairahkan investasi di sektor migas. Misalnya di awal Februari 2018, Kementerian ESDM telah mencabut 32 peraturan di sektor ESDM. Dari jumlah tersebut, 11 di antaranya merupakan peraturan di subsektor migas dan 3 peraturan terkait SKK Migas.
“Ini sebagai bagian dari pembenahan regulasi untuk memangkas mata rantai birokrasi maupun menyesuaikan regulasi dengan dinamika yang kini terjadi di sektor migas nasional dan global,” tutur Susyanto.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2006-2009, Ari Soemarno, memperingatkan minimnya investasi dan penurunan volume produksi migas nasional ini bisa membuat Indonesia terjebak dalam krisis energi berkelanjutan.
“Ini sudah masuk kategori darurat investasi, terutama di sector migas. Kita sudah jadi net importir minyak sejak 2003. Pertumbuhan konsumsi gas dalam negeri pun terus naik dengan rata-rata pertumbuhan 9% per tahun. Bila kondsi investasi tidak beranjak naik dan penemuan cadangan migas tidak bertambah, pada 2024 kita bisa jadi net importir migas,” ujar Ari.
Untuk itu, revisi UU Migas sangat penting untuk memperbaiki iklim investasi migas di Indonesia yang akan memberi dampak positif terhadap peningkatan kegiatan eksplorasi dan eksplotasi wilayah kerja migas.
“Semua pihak harus sensitive dengan kondisi ini, harus ada sense of urgency dan sense of crisis. Kalau tidak ada kepastian hukum, aturan yang berlaku tidak dapat menjawab tantangan-tantangan baru, tentu investor tidak mau melakukan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas baru di Indonesia,” tutur Ari menambahkan.
Padahal, imbuh Ari, industri hulu migas nasional sedikitnya membutuhkan investasi sekitar US$25 miliar dan sekitar US$45 miliar pertahun. Bila hal itu terealisasi, dampak selanjutnya bakal meluas lantaran sektor hulu migas memiliki efek berganda bagi pertumbuhan perekonomian nasional, mulai dari pemanfaatan produk lokal hingga transaksi melalui perbankan nasional.
“Revisi UU Migas juga akan mendorong iklim kondusif yang akan membuat posisi Indonesia di level global menjadi lebih kompetitif sehingga pada akhirnya mampu menarik minat investasi baru maupun peningkatan investasi yang sudah ada dari pelaku industri hulu migas,” kata Ari. (WorldWide Communication (WW Comm/tim kpc)