KOTAMOBAGU POST – Masyarakat Kelurahan Kotobangon Kecamatan Kotamobagu Timur, Provinsi Sulawesi Utara benar-benar terjajah diera Kemerdekaan. Tanah mereka dirampas untuk kepentingan umum namun tidak diberikan ganti rugi oleh Walikota Kotamobagu Ir Tatong Bara.
Pembongkaran paksa ini dilakukan kontraktor sejak July 2015 lalu, berdampak tanah dan bangunan serta tempat-tempat usaha warga Kotobangon rata tanah. Tindakan arogansi pertengahan tahun 2015 lalu, dilakukan Walikota Kotamobagu Ir Tatong Bara dengan melibatkan kontraktor PT Berlian Asean’s Murni, juga sempat melibatkan sejumlah oknum aparat yang terlibat pengawalan saat aksi pembongkaran, di lokasi.
PT Berlian Asean’s Murni selaku kontraktor pelaksana dan Ir Tatong Bara selaku Kepala Daerah paling bertanggungjawab dalam proyek pelebaran Jalan Nasional selebar 22 meter ini, dianggap sangat tidak manusiawi dan telah menginjak-injak Undang-undang dan Peraturan Presiden. Adapun dan Jalan Nasional ini bersumber dan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun 2015 ini, senilai kontrak Rp 35.4 miliar.
Puluhan warga Kotobangon yang berstatus tanah mereka telah dirampas tanpa ganti rugi, mengakui kalau hingga tahun 2016 ini, tidak diberikan ganti rugi oleh Pemerintah Kota Kotamobagu, dalam hal ini Walikota Ir Tatong Bara selaku Kepala Daerah yang paling bertanggungjawab terhadap penggusuran tanpa ganti rugi dan perampasan hak mereka.
“Tanah kami diambil begitu saja, sama dengan sudah dirampas tanpa ganti rugi. Kami tidak berdaya untuk menolak sebab Pemerintah Kelurahan tidak membela hak kami. Kami terpaksa melepaskan tanah kami karena takut. Karena alat-alat berat sudah menggusur bangunan dan tanah tetangga kami,” kata sejumlah warga pemilik tanah pada Kotamobagu Post, Sabtu (20/02/2015).
Umumnya sumber pemilik tanah mengaku, akibat tidak mendapatkan ganti rugi sementara sebagian tanah mereka sudah dirampas untuk fasilitas Jalan Nasional, membuat sertifikat tanah mereka tidak lagi sesuai dengan gambar dan ukuran tanah seperti semula.
“Tanah kami diambil oleh Pemerintah Kotamobagu, tanpa ganti rugi. Terus darimana kami mendapatkan uang untuk proses perubahan sertifikat tanah kami. Sampai saat ini, trotoar dan sebagian badan jalan masih berstatus hak milik kami dan belum dilepaskan,” ketus seorang wanita paruh baya pemilik tanah, yang kembali membuka warung dipinggian jalan, setelah bangunan warungnya digusur paksa tanpa ganti rugi selayaknya.
Mereka juga merasa hak mereka telah dirampas oleh Walikota Kotamobagu Ir Tatong Bara untuk pelebaran jalan Nasional itu, bervariasi luasannya mulai puluhan meter persegi hingga ratusan meter persegi. Sementara jika dibandingkan dengan Nilai Jual Objek Tanah, (NJOP), tanah di Kelurahan Kotobangon sangat mahal dan tidak bertaut jauh dengan tanah di Kelurahan Mogolaing yang mencapai minimal Rp300 – 500 ribu permeternya.
Kendati ada tiga regulasi Pemerintah yang harus ditaati oleh Walikota Kotamobagu Ir Tatong Bara, namun ketentuan tersebut tidak berlaku di bagi Walikota Ir Tatong Bara. Bahkan Walikota ini, mengaku tidak ada anggaran untuk ganti rugi tanah. Bahkan Walikota Perempuan ini, dengan arogansinya mengaku kepada media, semua pelebaran jalan di Kotamobagu (sejak dirinya jabat Walikota), tidak ada ganti rugi. “Namun yang pasti untuk pembangunan jalan dikotamobagu sebelum-sebelumnya juga terjadi hal yang sama dan khusus ganti rugi memang tidak ada,” kata Tatong Bara, dilansir dari totabuanews.com.
Peraturan yang masih berlaku berlaku tentang perlindungan hak-hak rakyat yakni; Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya, yakni Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960. Selain dua Undang-undang ini, juga ada Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
“Tindakan pengambilan paksa tanah rakyat di Kelurahan Kotobangon, meski tanah itu berstatus hak milik yang dilindungi Undang-Undang, adalah tindakan tidak manusiawi dan perbuatan melawan hukum. Kami menilai, penggusuran tanpa ganti rugi, juga melanggar undang-undang tentang hak asasi manusia,” kata Andy Riady, Lembaga Anti Korupsi Republik Indonesia. (audy kerap)