Antara Pingsika, Teknologi, Dan Ekologi

Opini331 Dilihat
Oleh : Ersyad Mamonto
KOTAMOBAGU POST, BOLMUT- Ekologi sebagai isitilah, diperkirakan dikenalkan oleh Ernst Haeckal 1866. Yaitu, sebagai hubungan antara organisme dan dunia luar, dalam kondisi yang luas dan begitu dalam.
Peralihan selanjutnya dari ekologi adalah etika lingkungan. Jika ekologi membahas bagaimana menguraikan tentang organisme dan dunia di luarnya, etika lingkungan melanjutkan dengan menanamkan prinsip norma dan moral terhadap alam di sektiar kita.
Etika lingkungan lahir saat kegiatan ekonomi dan teknologi manusia menimbulkan ketidakseimbangan alam yang berdampak pada manusia. Semisal, ilegal loging, pabrik yang menimbulkan polusi, dll. Maka etika lingkungan menawarkan sesuatu yang melihat keterhubungan mutualisme antara manusia dan alam.
Alam di posisikan bukan sebagai objek, tapi subjek serupa manusia. Bahkan membicarakan bagaimana melihat pohon dan lainnya memiliki norma dan moral. Artinya mereke juga hidup selayaknya manusia.
Berkaca.
Pada dasarnya, kehidupan tradisional sebelum berkembangnya teknologi adalah pola hidup keterhubungan erat antara alam-manusia, atau relasi alam-manusia. Manusia mengambil seperlunya dari alam dan menyisahkan yang lain sebagai usaha mempertahankan ekosistem.
Dalam kebudayaan pun begitu. Misalnya Permainan Pingsika. Permainan yang kini, sukar untuk di temui di Kab. Bolaang Mongondow Utara (Bolmut).
Pingsika terbuat dari batok kelapa yang dihaluskan, dibentuk seperti tanduk kerbau dan dimainkan di tanah lapang dengan sebuah alat terbuat dari bambu yang dinamakan Samba.
Permainan ini dimainkan oleh individu atau kelompok. Secara teknis ada banyak jenis pola permainan yang dihasilkan dari pingsika ini.
Permainan ini merupakan relasi alam-manusia. Saat panen kelapa atau dikenal dengan kwartal–karena dipanen dalam jangka waktu tiga bulan–kelapa dibelah kemudian dikorek dagingnya untuk dijadikan kopra hingga tinggal serabut dan batok. Kemudian batok inilah yang dijadikan pingsika. Berulang secara terus menerus seperti itu.
Untuk itu dalam memori ingatan anak-anak Bolmut, memainkan sebuah permainan ada musimnya. Saat bulan tertentu mengalami masa cuaca cerah yang panjang, maka akan ada musim layangan, begitupun dengan pingsika–yang terjadi saat panen kelapa–dinamakan musim pingsika.
Sejak dini paradigma relasi alam-manusia memang telah ditanamkan, bahkan dari hal-hal sederhana seperti permainan pingsika. Adalah sebuah tantangan ke depan saat permainan-permainan ini tergerus dengan arus teknologi.
Kemudian setelah ini akan ada pertanyaan : apakah ini merupakan ancaman bagi ekologi?
Tentu, ada efek domino yang dihasilkan. Jika dahulu kala ketergantungan dengan alam sehingga ada kewajiban kita untuk menjaganya, dipelajari secara otodidak sejak dini. Maka dengan peralihan era, nilai didik itu harus diusahakan dengan cara lain.
Sejauh ini langkah secara luas dan sustinable adalah bagaimana membuat teknologi ramah lingkungan. Gawai yang sehari-harinya menggantikan pingsika, diarahkan untuk membentuk mindset relasi alam-manusia.
Sebuah pekerjaan berat tentunya. Sebab, gawai tidak mengajarkan secara langsung bagaimana benda tersebut bergantung kepada alam. Bahkan proses produksi dari benda tersebut cenderung destruktif terhadap alam.
Misalnya tulisan di tirto.id yang berjudul “Greenpeace Nyatakan Bisnis Smartphone Tidak Ramah Lingkungan”, menyatakan bahwa 10 tahun terakhir smartphone meninggalkan jejak rusak dari sampah produksi. Bahkan sekitar 968 Terawatt-hour (TWh) telah digunakan untuk memproduksi smartphone sejak tahun 2007, hampir setara dengan suplai listrik untuk India selama setahun.
Polemik ini mempertegas tentang teknologi yang harusnya diarahkan untuk lebih peka terhadap etika lingkungan atau, tidak berhenti hanya pada usaha untuk mempersingkat dan mempermudah kerja manusia.
Penjelaasan di atas adalah persoalan tentang gawainya sendiri agar lebih ramah lingkungan. Hal yang lain untuk disoroti adalah, mungkinkah secara fungsi gawai bisa sama seperti pingsika yang otomatis mengajarkan relasi alam-manusia?.
Pusat Studi Sejarah Adat & Kebudayaan Bintauan-Inomasa Study Club (PUSSAKABin-ISC)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.