Bintauna Dimasa Pemerintahaan Kerajaan

Sisa-sisa Istana Kerajaan Bintauna yang hangus terbakar pada peristiwa Permesta (dok kotamobagupost)

Bintauna Dimasa  Pemerintahan Raja – Raja    —  DISADUR DARI BUKU : GELORA NASIONALISME DARI DALAM ISTANA KERAJAAN 1912-1950 PENULIS : AUDIE J.KERAP

 Bintauna berasal dari Vintauna yang terdiri dari dua Kata Vinta dan Una, Vinta artinya Bintang dan Una atau Owuna-wuna artinya terdahulu Sehingga Vintauna sesungguhnya dimaknai sebagai Bintang lebih dahulu. Dalam versi lain dimaknai juga bahwa Vintauna adalah berasal dari Panggilan Istri dan Suami dari Manusia Pertama kali yang mendiami Negeri Huntuo yaitu Vai Vaunia dan Pai Sahaya. Suami Sahaya memanggil Istrinya dengan kata Vinta yang berarti bintang dan Istri memamggil sang suami dengan panggilan Una artinya terdahulu.
 Huntuo adalah bahasa Bintauna yang merupakan Kata asal dari Huntuk yang sekarang ini menjadi Nama salah satu desa di Kecamatan Bintauna. Kata Huntuo diambil dari Kata Puntuo yang artinya suatu benda yang terletak diatas benda lain yang kemudian diartikan sebagai Topi Kecil yang terletak diatas Kepala Besar yang maksudnya suatu tempat yang teletak diatas Punggung Gunung sehingga kelihatan lebih tinggi dari tempat lain.
 Kerajaan Bintauna asal mulanya termasuk dalam wilayah Pemerintahan Afdeling Gorontalo karena pada Masa VOC Bintauna merupakan satu Marsaoleh-Schar yaitu wilayah Pemerintahan yang dikepalai oleh seorang Marsaoleh (Ulea) dari kerajaan Suwawa. Dalam perkembangannya Kemudian kerajaan Bintauna melepaskan diri dari Kerajaan Bone atau Suwawa yang kemudian membentuk kerajaan sendiri dengan nama Vintauna.
 Dalam status sebagai kerajaan, Mula-mula Bintauna terdiri dari dua Kelompok Masyarakat yang Masing-masing mempunyai wilayah Sendiri dan berbeda dari sisi Agama dan Kepercayaannya, Yakni :

Kelompok Masyarakat Bagian Utara yakni kelompok Heindenen yang menganut kepercayaan Animisme karena menyembah batu dan Pohon.  Kelompok Masyarakat bagian Selatan yang menganut kepercayaan Agama Islam.

Latar belakang perbedaan dalam agama dan Kepercayaan inilah yang menyebabkan Sehingga kelompok masyarakat tersebut saling memisahkan diri yakni kelompok masyarakat bagian Selatan yang memeluk agama Islam melepaskan diri dari kerajaan Bintauna dan bergabung kembali dengan kerajaan Suwawa. Dengan demikian Kerajaan Bintauna dalam perkembangan selanjutnya adalah sebagian dari kerajaan yang penduduknya menyembah atau menganut kepercayaan Animisme.
Dalam perkembangan selanjutnya masyarakat Bintauna yang diikat adat Kerajaan Bintauna pada waktu itu sudah mulai mengenal agama ini dibuktikan dengan adanya Makam Pendeta Talahatu dan Istrinya di Kompleks makam Raja Pertama yakni Makam Paduka Raja Mooreteo yang makamnya bentuknya hampir sama dengan bentuk bangunan Gereja atau Kahera karena Konon raja pertama ini dikubur didalam Gereja. Ini menunjukan bahwa pada masa kerajaan Bintauna pada awalnya masyarakatnya sudah menganut agama Kristen.
Paduka Raja Mooreteo dalam melaksanakan tugas sebagai pemimpin bagi rakyatnya di Raa Minanga senantiasa didampingi istrinya yang bernama Vua Tebo yang dari Hasil perkawinannya dianugrahi seorang anak yang bernama Datu.
Dalam perkembangan selanjutnya setelah Paduka Raja Mooreteo Meninggal maka dinobatkanlah Anak dari Mooreteo dan Vua Tebo menjadi Raja kedua yakni Paduka Raja Datu. Karena Datu diangkat jadi Raja maka rakyat kerajaan pada waktu itu mengatakan bahwa Datu Rono Solako yang artinya Datu sudah menjadi Besar atau menjadi Raja maka berubahlah nama Datu menjadi Datunsolang yang kemudian nama itu menjadi marga keturunan Raja-raja bintauna selanjutnya.
Pada masa Paduka Raja Datu Negeri kerajaan yang bertempat di Raa Minanga dipindah di suatu tempat yang bernama Lasako atau Vaya Sangki. Paduka Raja Datu beristrikan Vua Rantoiya yang dari hasil perkawinannya dianugrahi anak bernama Abo Volakia dan Abo Patilima.
Sisa sejarah rumah Sekretaris Raja Bintauna dokumentasi tahun 2007 (dok; kotamobagu post)

Setelah Paduka Raja Datu Meninggal tahun 1783 yang kemudian dimakamkan ditempat itu juga maka dinobatkanlah Putra dari Paduka Raja Datu menjadi raja yakni Abo Volakia namun Abo Volakia Menolak untuk menjadi Raja maka ditunjuklah penggantinya yakni anaknya yang bernama Avo Lahai tetapi Avo Lahai melakukan pelanggaran yakni pada saat Putri-putri (Mangoreaka) sedang menari Kaimbu dalam sebuah acara adat tiba Avo Lahai masuk sambil mengendarai kuda ditengah-tengah para Penari yang berakibat sala satu Pakaian yang dikenakan oleh penari tersebut terinjak oleh kaki Kuda yang berakibat Avo Lahai dibuang dimaluku dan pada akhirnya wafat ditempat pembuangan tersebut Ketika Avo Lahai dibuang maka dinobatkan Patilima sebagai Raja yang ke III pada taun 1783 yang prosesi Penobatannya dilaksanakan di Ternate. Pada saat Penobatan itulah Marga Datunsolang resmi dilekatkan pada Nama Raja dan Keturunannya sehingga Nama Paduka Raja ke III menjadi Paduka Raja Patilima Datunsolang dan pada saat itulah Alat musik kebesaran (Alat Musik Adat) diserahkan kepada Raja Patilima. Sehingga Saat Paduka Raja Patilima kembali dari Ternate ke negeri Lasako maka alat-alat Musik adatpun dibawah serta dan dijadikan alat musik adat Kerajaan yang sampai saat ini masih ada dan tetap terpelihara keaslianya. Adapun alat Musik adat tersebut adalah Kolintang, Gong, Tambur, Savua, Payung Kerajaan, Tapajaro (Tombak) dan Eleso ( Keris).

Pada Masa Pemerintahan Paduka Raja Patilima Datunsolang negeri Bintauna yang berada di Lasako kembali lagi dipindahkan di Raa Minanga, negeri awal pada Masa Paduka Raja Mooreteo. Sesudah Raja Mangkat maka dinobatkanlah sala satu anak dari Paduka Raja Patilima Datunsolang yakni Salmon Datunsolang sebagai Raja Ke IV .
Pada Masa Pemerintahan Paduka Raja Salmon Negeri kerajaan kembali lagi dipindahkan yakni dari Negeri Raa Minanga menuju kenegeri Voa,a yang kemudian nama tempat ini diadopsi menjadi nama Sala satu Desa dikecamatan Bintauna Saat ini.
Sesudah Paduka Raja Salmon Mangkat maka pada tanggal 24 September 1857 dinobatkanlah Adik Kandung dari paduka Raja Salmon untuk menjadi raja ke V yakni Abo Bantango atau dikenal dengan nama Elias Datunsolang.
Pada Masa pemerintahan Paduka Raja Elias Datunsolang maka Pusat Pemerintahan Kerajaanpun kembali dipindahkan dari Negeri Voa’a menuju ke negeri Pangkusa yang saat ini Desa Pangkusa.
Setelah Paduka Raja Elias Maeninggal maka dinobatkan Toraju Datunsolang yang merupakan anak dari Paduka Raja Salmon Datunsolang sebagai Raja yang ke VI. Pada masa Pemerintahan Paduka Raja Toraju Datunsolang kembali lagi Pusat Pemerintahan Kerajaan dipindahkan lagi dari negeri Pangkusa menuju ke negeri Vantayo. Pada tahun 1884 tahta Kerajaan diserahkan Kepada Paduka Raja ke VII Serael Datunsolang yang merupakan Putra dari Paduka Raja Elias Datunsolang. Pada Masa pemerintahan Paduka Raja Serael Datuinsolang inilah Pusat Pemeritahan Kerajaan Kembali lagi dipindahkan dari Negeri Vantayo menuju negeri Pangkusa.
Pada saat Paduka Raja Serael wafat tahun 1893 maka menurut ketentuan pada waktu itu yang harus menggantikannya adalah Anak dari Paduka Raja Toraju Datunsolang namun karena anak dari Paduka Raja Toraju Datunsolang belum cukup Dewasa maka pada tahun 1893 dinobatkanlah kembali Toraju datunsolang menjadi Raja VIII Selanjutnya sambil menunggu Anaknya menjadi Dewasa.
Setelah dua Tahun kemudian yakni pada tahun 1895 anak dari Paduka Raja Toraju Datunsolang pun diNobatkan menjadi Raja ke IX yakni Paduka Raja Mohamad Toraju Datunsolang.
Pada Masa Pemerintahan Paduka Raja Mohamad Toraju Datunsolang ini pada tahun 1905 Pusat Pemerintahan kembali lagi dipindahkan dari Negeri Vantayo menuju Negeri Minanga yang saat ini Desa Bintauna Pantai yang kemudian pada tahun 1913 Pusat Pemerintahan Kerajaan dipindahkan lagi ke Bunia yang saat ini Desa Bunia dan pada tahun 1914 Pusat Pemerintahan Kerajaan Bintauna kembali dipindahkan dari Bunia menuju ke Pimpi yang saat ini Desa Pimpi yang kemudian saat ini menjadi Ibu Negeri Kecamatan Bintauna. Pada tahun 1950 lewat gerakan Pemuda dan Masyarakat Sistem Kerajaanpun dihapuskan sehingga Kekuasaan Rajapun dihapuskan. Dengan dihapuskannya Kekuasaan Raja maka Kerajaan Bintauna menjadi Distrik yang dipimpin oleh Abo A. M.
Datunsolang dengan jabatan sebagai Amtenar yang kemudian pada perkembangan selanjutnya saat ini menjadi Kecamatan. Guna meingatkan akan peristiwa Pemindahan Pusat Pemerintahan Kerajaan Bintauna dari Negeri Minanga sekarang ini Desa Bintauna Pantai kenegeri Pimpi sekarang ini desa Pimpi maka satu desa yang berada disatu tempat bernama Bagugula diganti namanya menjadi Bintauna agar nama Bintauna akan tetap lestari yang kemudian dalam perkembangan selanjutnya menjadi Kelurahan Bintauna.

Berikut ini Intisari Susunan Raja-raja pada Masa Pemerintahan Kerajaan Bintauna

Paduka Raja Mooreteo

Paduka Raja Datu

Paduka Raja Patilima Datunsolang

Paduka Raja Salmon Datunsolang

Paduka Raja Elias Datunsolang

Paduka Raja Toraju Datunsolang

Paduka Raja Serael Datunsolang

Paduka Raja Toraju Datunsolang

Paduka Raja Mohamad Toraju Datunsolang

***Sumber : lokakarya Sejarah dan Budaya di Pimpin Camat Bintauna Drs Abdul H.Suratinoyo, — Bintauna dimasa pemintahan raja-raja***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 komentar

  1. Hi my name is Denise and I just wanted to drop you a quick note here instead of calling you. I discovered your Bintauna Dimasa Pemerintahaan Kerajaan | kotamobagupost.com page and noticed you could have a lot more visitors. I have found that the key to running a successful website is making sure the visitors you are getting are interested in your subject matter. There is a company that you can get targeted visitors from and they let you try their service for free for 7 days. I managed to get over 300 targeted visitors to day to my website. Check it out here: http://s.marcusmo.co.uk/60e